Tokoh Falak NU Kebumen
Oleh: Drs. KH Mansur Al Kaff, Ahli Falak KebumenSaya memang asli Kebumen, tetapi secara pribadi saya tidak banyak kenal dengan Ulama Kebumen, karena dimasa muda merantau di Kalimantan Timur, sekitar 12 tahun lamanya. Berada di Kebumen hanya Sabtu dan Ahad. Tapi, setidaknya ada 3 ahli falak dari kalangan NU yang saya kenal.
1. KH Mahfudz, Kebadongan.
Beliau adalah menantu KH Mahfudz, Jetis. Abah dari KH Wahib Mahfud, Rois Syuriah NU Cabang Kebumen. Ketika saya kecil, kakak saya bercerita, yaitu KRS Mukhtarullah, bahwa Bapak KH Mahfudz kalau mengajar ilmu Falak, diawali dengan pengantar tentang berbagai macam alam, dari alam barzah, alam malakut, lalu ke jagad raya, baru masuk ke ilmu falak. Disamping beliau mengajar di pesantrennya , juga mengajar di MA Salafiyah, Wonoyoso, Kebumen.
Namun, ketika saya belajar di sana, kebetulan beliau sedang pergi haji, sehingga saya tidak menerima pelajaran ilmu falak dari beliau. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya merasa punya ikatan batin dengan beliau, mungkin karena saya pernah sowan beliau, dan saya bisa nyambung kalau beliau ngendika (ngomong) tentang ilmu falak.
Di rumah, beliau memproduksi Bencet yg dimodifikasi. Kalau pada umumnya bencet bentuknya seperti tugu permanen dan tongkat istiwanya tegak lurus fertikal, maka bencet buatan beliau dapat dikatakan portable bencet, dapat dijinjing dan dipindah pindahkan, tongkat istiwanya horizontal, alasnya berupa setengah lingkaran fertikal, dilengkapi dengan garis waktu hakiki zawali, dan garis awal asar ( Itu kalau saya tidak salah, karena sudah lama tidak melihatnya lagi). Yang saya tahu Gus Afif Somalangu punya bencet produksi KH Mahfudz kebadongan tersebut.
Ada tiga kesan khusus terhadap beliau;
a. Beliau kalau memimpin baca Suratul fatihah, baik dalam tahlil, maupun dalam membuka sebuah pertemuan, sangat rinci dalam menyebutkan para ulama salaf yang diberi hadiah Bacaan suratul fatihah. Pernah satu ketika dalam pertemuan di Wonoyoso, waktu tiba saatnya beliau menyebut ulama mushanifin dalam fan ilmu falak, beliau menyebut cukup banyak mushannif kutubul falak sambil melirik dan mengerling kepada saya yang kebetulan duduknya tidak jauh dari beliau.
Saya agak terkejut , sepertinya beliau mengingatkan agar saya tidak melupakan para ulama Falak. Karena itulah, saya kadang-kadang mengutip muqadimah dari kitab khulashatul wafiah, bila saya pandang relefan, sebagai cara untuk menghormati ulama salafiyyun .
b. Suatu saat saya melihat sebuah kalender yang dibagian belakangnya ada lampiran hisab ijtima’ awal bulan hasil hitungan beliau. Hitungannya lengkap, bukan hanya hasilnya saja yang cukup njlimet, beliau tidak mau melakukan pembulatan, sampai pecahan ”sawadis”. Sebagaimana kita ketahui seper enam puluh menit namanya tswani, seper enam puluh tswani, namanya tswalits, berikutnya, rawabi’ khawamis lalu sawadis. Artinya, satu sawadis sama dengan 1/( 60 x 60 x60 x 60) atau 1/12960000 detik.
Iseng-iseng saya melihat salah satu hitungannya, saya lihat ada yang ganjil. Kalau tidak keliru pada waktu melakukan ta’dil dengan ta’dilusyams. Rasanya salah tempat. Angka yang mestinya bernilai darajah tetapi diberi nilai daqiqah. Setelah saya lihat berkali kali sampai saya yakin bahwa saya tidak salah lihat, lalu saya menghadap beliau, dengan segan dan sedikit takut saya utarakan temuan saya, ternyata reaksinya sangat positip.
Beliau langsung mengeceknya setelah ditelitinya beberapa saat, beliau tersenyum sambil berkata ”Itulah kalau menghitung sendirian tidak ada teman yang ikut mengoreksinya”. Tetapi memang kekeliruan itu tidak berpengaruh besar pada natijah akhir
c. Pernah satu waktu, para pengurus cabang yang merasa masih muda, bersilaturahim dalam rangka halal bihalal kerumah para kiyai. Tiba di rumah beliau, Pak Masykur Masykub sebagi pimpinan rombongan sudah matur panjang lebar, yang intinya adalah Minal aidin dst. Jawab beliau sangat singkat dan padat yaitu ”Kadzalik”.
Sepulang dari rumah beliau kami asyik membicarakannya, bahkan terpikir untuk ”balas dendam” dengan gantian mengucapkan ”kadzalik” bila satu saat beliau ngendika agak panjang. Pada lebaran tahun berikutnya, kami sowan kerumah beliau, tetapi tidak jumpa beliau karena sedang tindakan. Tahun berikutnya tidak sempat lagi bersilaturahim dengan beliau karena beliau sudah wafat. Jadi balas dendam tentang ucapan kadzalik tidak sempat terlaksana.
2. K Abu Sufyan, Jagasima, Petanahan
Saya kurang banyak berkomunikasi dengan beliau, walau sebenarnya ada kaitan nasab secara tidak langsung dengan beliau. Ibu Nyai adalah cucu dari Bu De saya yaitu Nyai Syadzali Ngabean, yakni putri dari K Jadun Lengkong, yang kepada Ny Jadun saya memanggilnya Mbokayu Hamidah. Kesan saya mengatakan bahwa K Abu Supyan sangat teliti, dan rajin menyimpan dokumen masa lalu.
Misalnya beliau masih menyimpan rapi do’a-do’a dan perintah PCNU kebumen berkaitan dengan menghadapi pemilu th 1955 maupun 1971. Saya mengetahui hal ini ketika menjelang Pencalonan Bupati di awal Orde Reformasi beberapa tahun yang lalu.
Tentang ilmu Falak beliau sangat terbuka. Beliau mempunyai papan tulis yang di format seperti lembar kerja atau langkah-langkah menghisab awal bulan Komariyah, untuk dua bulan, satu bulan disebelah kanan dan disebelah kiri. Menjelang bulan Ramadhan, hasil hitungan beliau dituliskan di papan tulis tersebut, lalu di letakkan diteras pendopo rumah beliau disertai catatan “mempersilahkan siapa saja untuk melihat dan mengoreksinya bila ada kekeliruan”.
Beliau meyakini kebenaran hitungan kitab Sulam Nayirain tanpa talfik. Artinya kalau menghitung dengan system ini, hadurrukyah dan imkanurrukyahnya juga mengikuti kitab ini, yakni 6 darajah. Biasanya hasilnya akan sejalan dengan hisab modern.
3. KH Nurhamid, Wonoyoso, Kebumen
Beliau adalah ulama sepuh yang saat ini masih sugeng, dan saya masih sering berkomunikasi dengan beliau. Menurut cerita dulu sebagai hakim kehormatan, beliau adalah andalan Pengadilan Agama Kebumen dan hitungan beliau dijadikan rujukan untuk pelaksanaan Rukyat di kebumen. Saya pernah mengikuti rukyat di PA Kebumen era tahun 90 an, yang dilaksanakan dibukit sebelah utara Mertakanda, namun sekarang beliau sudah tidak aktif lagi.
Dengan latar belakang pengalaman beliau yang pernah menjadi Kepala KUA dan penghulu serta hakim kehormatan di Pengadilan Agama, beliau sangat arif dalam memadukan hasil hisab, dengan putusan-putusan bahtsul masail dan kebijaksanaan Pemerintah (Departemen Agama) . Sehingga beliau sangat faham untuk membedakan mana ketetapan PBNU yang bersifat normatif, mana yang bersifat praktis, dan bagaimana memadukannya bila terjadi pertentangan.
Saya merasa terayomi dan tercerahkan bila bertemu dengan beliau. Semoga beliau berumur panjang untuk bisa selalu memberikan pencerahan kepada kita semua.
Satu hal yang dapat saya ketemukan dari mereka bertiga, adalah mereka tidak merasa sebagai ahli falak. Maksimal beliau hanya menyebut dirinya sebagai bagian dari penikmat ilmu falak( Man marasa ilmal falak). Kalimat ini ternyata terdapat pada Kitab Sulam Nayirain.
Karangsari, Kebumen 25 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar