Sabtu, 14 Juli 2012

Bagaimana Orang Menulis dan Menghargai Sejarah


Artikel ini dimuat pada blog ini semata-mata untuk bahan pembelajaran bagi santri PPWI, Terimakasih.
Untuk memperkaya diskusi kita, saya sarankan Anda untuk membaca 10 jilid
lengkap buku Subaltern Studies, diedit ranajit Guha, Partha Chatterjee,
DavidArnold, dkk, dimana Anda akan temukan bagaimana orang India menulis
sendiri sejarahnya, dan bagaimana sejarah itu bermakna dari sisi orang-ornag
kecil, bukan dari konstruk orang elit (plus orientalis) ttg orang-orang kecil
seperti Sartono itu. juga akan saya kirimkan artikel saya ttg problemtaik
menulsi suara subaltern itu.... semoga bermanfaat

salam
ab

MEREKA PERLU DISOSIALISASIKAN Suara Subaltern dan Ideologi Ilmu-ilmu Sosial
dalam Historiografi Indonesia


Historiografi Indonesia dan Ideologi Ilmu Sosial
Makalah ini mencoba memperkenalkan Studi Poskolonial (Postcolonial Studies) ke
dalam historiografi Indonesia. Apa sebetulnya yang menarik dari pendekatan
Poskolonial seperti ini? Dan mengapa kini menjadi penting untuk
memperkenalkannya ke dalam konteks historiografi Indonesia.
            Pertama-tama, menurut Gayatri Spivak, salah seorang pionir dalam
Studi Poskolonial, dalam satu tulisannya, pendekatan ini berupaya
“mendekonstruksi historiografi”. Apa arti “mendekonstruksi histoiogrfai”?
Tulisan Gayatri Spivak ini sangat terkenal. Ia merupakan pengantar kumpulan
tulisan-tulisan pilihan para sejarawan Subaltern Studies di India.[2] 
            Historiografi artinya penulisan sejarah. Pertanyaannya kemudian,
“siapa” yang menulis sejarah? Kalau kita tanya Kuntowijoyo, maka jawabnya,
“sejarawan akademis”. “Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan
sadar menyebut diri sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian”, tandas
Kuntowijoyo.[3] Baginya, “tugas-tugas non-sejarawan dan cerita-cerita
orang-orang hanyalah melengkapi tugas kaum sejarawan akademis, karena “[mereka,
sejarawan akademis ini] mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang
ditulis”.[4]
            Bagi Spivak dan kalangan penulis Subaltern Studies, tentu ini
problematik. Pertama, sebutan “akademis” mengandaikan sebuah kultur baru.
Sementara sebutan “sejarawan” berfungsi mengukuhkan kultur tersebut. Selain
itu, “akademisme” juga mengandaikan adanya sebuah kelas tersendiri, kelas
terpelajar, yang muncul dari dunia “modern” dan “ilmiah”. Jadi, dalam
historiografis “resmi” diperlukan aktor dan kultur.
Lalu bagaimana mereka kemudian menulis sejarah Indonesia misalnya? Sejarah
Indonesia, menurut  Kuntowijoyo dalam bukunya, Metodologi Sejarah (1994),
adalah sejarah modern dan ilmiah. “Historiografi Indonesia modern baru dimulai 
sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia
Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah
baru. Sementara itu, kurun historiografi tradisional dapat dianggap berakhir
dengan ditulisnya buku Critische Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh
Hoesein Djajadiningrat  pada tahun 1913”.[5] Sejarah modern ini menandai
peralihan dari model Europasentris ke Indonesia-sentris, yakni lahirnya sebuah
“historiografi nasional”. Kemudian, lanjut Kuntowijoyo, juga ada “keinginan
untuk adanya suatu sejarah Indonesia yang ilmiah seperti ternyata dalam Seminar
Nasional II di Yogyakarta pada tahun 1970. Keinginan itu telah memperluas ruang
lingkup penulisan sejarah
 dengan masuknya pendekatan-pendekatan [ilmu sosial] baru.” (19)
“Jalan kedua ini telah menawarkan perluasan penulisan sejarah secara
substantif, sebab dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial ruang lingkup sejarah
Indonesia tidak lagi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang proses, tetapi juga
mulai memikirkan mengenai struktur.” (20)
            Apa yang disebut “historiografi modern” itu adalah historiografi
nasionalis. Persisnya, historiografi elit-nasionalis. Buku suntingan
Soedjatmoko, An Introduction to Indonesian Historiography (Cornell University
Press, 1965), menandai awal terbentuknya dokumen historiografi elit-nasionalis,
yang k mencapai puncaknya dalam Seri Sejarah Nasional Indonesia yang dsunting
oleh Nugroho Notosoesanto dan kawan-kawan. Sementara karya Sartono Kartodirdjo,
Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka, 1984), menandai masuknya pendekatan
ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia.
            Makalah saya ini secara khsuus menyoroit aspoek yang etrkahir ini,
yakni soal masuknya pendekatan ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia.
Soalnya, klaim yang emngemuka dari tren ini adalah pada soal pentingnnya
menekankan sejarah yang muncul dari bawah, sebuah sejarah sosial, yang berbeda
dari kecenderungans ejarah elitis, yang hanya berkutat pada ceroita-cerota
pembesar, kelompok elit dan militer. Menurut Sartono, historiografi
elit-nasionalis telah mengabaikan suara-suara orrg kecil, misalnya suara 
kalangan petani.
Pertanyaannya saya tentunya adalah, mengapa mengungkap suara-suara petani itu
misalnya melalui “ilmu-ilmu sosial”? Bagaimana ia diarahkan, dan apa hasilnya?
Kita lihat apa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo misalnya.
            Sejarawan dari UGM Yogyakarta ini dikenal dengan dua proyek
rintisannya: memperkenalkan searah petani sebagai aktor dalam historiografi
Indonesia. Kedua, memperkenalkan pendekatan multi atau inter-disipliner, yakni
pendekatan ilmu-ilmu sejarah ke dalam penulisan sejarah Indonesia. Tentu kita
bisa bertanya, apa yang ditawarkan oleh Sartono tentang sejarah petani sebagai
aktor ini dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.
Menurut Sartono, pendekatan ilmu-ilmu sosial ini bersifat multidimensional
dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa searah dijelaskan sebagai hasil/akibat
dari saling pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama,
dan lain-lain. Dalam studinya yang terkenal, Pemberontakan Petani Banten 1888
(1966), Sartono menggabungkan kajian historis dan sosiologis. Mengikuti
sosiolog Amerika, Evans-Pritchard,[6] ia menyebut gerakan-gerakan sosial
sebagai sebuah obyek kajian bersama sejumlah displin keilmuan. Yang menarik,
Sartono dengan tegas menyebut bahwa konsep-konsep sosiologis layak
dipertimbangkan untuk diadopsi dalam kajian sejarah dan historiografi.
Konsep-konsep seperti “mileniaris”, “solidaritas dan konflik golongan”, dan
juga konsep-konsep yang berkaitan dengan golongan, perilaku, organisasi,
pengelompokan, pimpinan, ideologi dan sebagainya.[7]
Lebih jauh lagi, Sartono ingin menunjukkan dalam kasus pemberontakan petani
Banten 1888 bahwa gerakan petani adalah sebuah gerakan mileniaris, dimana ada
kelompok elit yang menggerakkan petani melalui sejumlah kreasi simbolik dan
magis-agama. Gerakan seperti ini, lanjut Sartono, muncul dalam kondisi dimana
terjadi benturan antara tatanan tradisional dan tatanan baru yang dibawa oleh
kolonialisme. Benturan itu oleh Sartono dilihat mengganggu keseimbangan
masyarakat tradisional, yang kemudian melahirkan frustasi dan deprivasi, yang
berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas, dan akhirnya mengarah
kepada pemberontakan.[8]
“Pemberontakan” semacam ini yang menarik perhatian Sartono dan sejumlah
sejarawan lainnya yang suka dengan penerapan konsep ilmu sosial tentang
“gerakan milenarian-mesianik” ke dalam penulisan sejarah. Mengapa pemberontakan
petani Banten 1888 disebut gerakan milenarian? Sartono melihat peran agama yang
dominan dan tokoh kharismatik yang berpengaruh. Dalam soal ini, Sartono tinggal
menjiplak teori-teori ilmu sosial Barat yang sudah jadi tentang “peran agama
dalam masyarakat tradisional” dan “manipulasi agama oleh tokoh-tokoh
spiritual”. Ujung-ujungnya, Sartono ini ingin mengukuhkan asumsi bahwa gerakan
petani mewakili mentalitas tradisional pra-politik, yang terbelakang dan
primitif.
Jadi, ketika Sartono ingin memperkenalkan ilmu-ilmu sosial ke dalam
historiografi Indonesia, yang pertama dilakukan adalah mengidentifikasi gerakan
petani tersebut ke dalam konteks modernisasi yang melaju dengan kencangnya di
bawah kendali kolonialisme. Kalau kemudian terjadi benturan antara nilai-nilai
yang lama dan yang baru, maka reaksi yang muncul ada dua: yang tradisional dan
yang rasional-modern. Yang pertama berbentuk gerakan milenarian atau Ratu Adil,
sementara yang terakhir berbentuk organisasi modern. Orang-orang yang menentang
laju modernisasi dan kemudian memberontak sebagian dianggap sebagai orang-orang
yang frustasi dan kecewa, dan sebagian juga karena manipulasi para kaum elitnya
yang memperalat agama. Bahkan Sartono menyebut kalangan petnai masih terjerat
oleh web of magic (jejaring magis), seperti jimat, jampi-jampi, ramalan-ramalan
dan ilmu-ilmu kekebalan. [9]
            Demikian pula yang dilakukan misalnya Kuntowijoyo dalam studinya
tentang Kiai Mahfud Sumalangu. Kiai Mahfud Sumalangu dari Kebumen adalah tokoh
lasykar Hizbullah di era Revolusi yang memerangi pendudukan Belanda di Banyumas
Selatan. Kemudian, Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul
Jenderal AH. Nasution. Antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI
haruslah berijazah. Dan ijazah itu hanya dibatasi pada keluaran atau lulusan
beberapa lembaga pendidikan saja. Tidak termasuk pesantren. Kiai Mahfud pun
tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya,
diangkat seorang perwira muda bernama Ahmad Yani, yang kemudian terkenal
sebagai “pahlawan revolusi”. Akibatnya, kiai kita ini mendirikan Angkatan Oemat
Islam (AOI) pada tahun 1950-an yang kemudian dinyatakan oleh Ahmad Yani sebagai
“pemberontak”.[10]
            Lalu, bagaimana kemudian Kuntowijoyo menulis kembali apa yang
disebutnya “sejarah lokal’ itu? Dalam satu artikelnya, “Angkatan Oemat Islam:
Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950”,[11] ia menulis
demikian:

“Tampak sekali bahwa sebagai gerakan Islam, AOI mengikuti pola kebudayaan
santri pedesaan abad 19 – sesuatu yang “aneh” karena pada tahun 1950-an itu
gerakan Islam lain cenderung bersifat urban, reformis, dan dinamis. [Catatan
kaki] Bupati Purworejo menerangkan bahwa Kiai Mahfud tidak suka pada politik
dan pada Masyumi. ... Bukan kebetulan jika semua anggota AOI di pedesaan
Kebumen kini masuk NU.
Lebih dari segalanya, kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan
semata-mata badan kelasykaran, tapi suatu pergerakan sosial, lebih tepatnya
suatu pergerakan sosial yang abortif, karena gagal mencapai sasaran
pergerakannya. Dalam menyelesaikan problem sosial, yang sebagain anggota
masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. ...
Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk
menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.”[12]

Sekali lagi, Kuntowijoyo – dengan intonasi yang lebih tegas -- melanjutkan
semangat Sartono Kartodirdjo untuk melihat mentalitas masyarakat tradisional
yang “terbelakang”. Suara dan gerakan perlawanan mereka bukan dianggap sebagai
gerakan politik yang sebenarnya. Mereka disebut “pemberontak”, “gerakan yang
gagal dan abortif”, “orang ndeso yang aneh”, dan “kaum NU yang budayanya
berasal dari abad 19, yang jumud dan terbelakang”. Memang cukup aneh, para
sejarawan melanjutkan tesis “kriminalisasi korban” yang dilakukan oleh para
elit dalam sejarah.
            Pandangan-pandangan “kriminalisasi” dan “modernisasi” seperti ini
pula yang dipakai oleh Taufik Abdullah terhadap kelompok adat di Sumatera
Barat.[13] dan juga Onghokham terhadap pelaku gerakan-gerakan rakyat di Jawa.
Menurut Taufik Abdullah, perjumpaan suatu masyarakat dengan kekuatan luar yang
lebih kuat menciptakan problem yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Ketidamampuan mengatasi tekanan dan desakan dari luar tersebut bisa membawa
kepada sikap frustasi dan kekecewaan. Wujud paling nyata dari sikap tersebut,
lanjut Taufik, adalah pemberontakan. Sementara respon positif dan sikap dewasa
yang bisa diambil adalah dengan menyesuaikan dari dengan tekanan luar itu, dan
dari situlah lahir modernisasi. 
Sementara dalam analisis Onghokham, kalau penduduk pedesaan tidak dapat
menerima atau tidak mau menerima keadaan kolonial, maka mereka mencari jalan
keluar. Yakni melalui gerakan-gerakan seperti saminisme, agama Dul, Jawadwipa,
dan lain-lain, gerakan-gerakan “perdukunan” yang sifatnya magis dan selalu
setengah rahasia dan setengah memberontak terhadap konvensionalisme masyarakat.
Jalan lain adalah menjadi perampok. Saluran lainnya lebih elitis, yakni melalui
organisasi-organisasi modern, melalui pergerakan nasional.[14] Dan bukanlah
disengaja kalau Onghokham mengelompokkan ke dalam satu gerbong gerakan-gerakan
“saminisme, agama Dul, Jawadwipa, perdukunan, yang magis dan setengah rahasia”
ini dengan aksi-aksi kriminal.
Apa yang ditulis Onghokham ini mewakili imajinasi yang muncul di kalangan
elit-nasionalis tentang kriminalisasi serupa yang diperkenalkan oleh kalangan
cerdik-cendekia kolonialis Belanda. Mereka dianggap berbahaya bukan cuma karena
bersifat rahasia, bergerak di bawah tanah dan berpotensi memberontak. Tetapi
juga karena keyakinan mereka yang berbau magis dan takhayul, seperti perdukunan
yang memungkinkan pergerakan mereka sulit dikendalikan dan dikontrol. Imajinasi
kalangan nasionalis tentang pengkriminalisasian kelompok-kelompok inilah yang
mengarahkan bentuk-bentuk pengawasan dan kontrol terhadap kelompok subaltern.
Dengan demikian, pada analisa akhir, pengenalan ilmu-ilmu sosial ke dalam
historiografi Indonesia, hanya memungkinkan “suara luar” berbicara, yang
kemudian diinternalisasi oleh sejarawan Indonesia yang menulis sejarah bangsa
mereka sendiri. Dalam bahasa Homi Bhabha, apa yang dilakukan Sartono,
Kuntowijoyo, Taufik Abdullah dan Onghokham adalah sebuah “internalisasion of
the other as the self”.[15]  Mereka mencari sesuatu yang modern dalam sejarah
Indonesia, tapi “yang modern” itu justru dipaksakan dari luar. Mereka mencari
sesuatu “yang meng-Indonesia” dalam sejarah, tapi justru pencarian identitas
nasional semacam itu didikte dari desain global ilmu-ilmu sosial Amerika.
Mereka mencari suara-suara “orang bawah” dalam sejarah Tanah Air, tapi mereka
diarahkan dari luar untuk mengarahkan suara bawah itu mengikuti arus
modernisasi untuk bisa bersuara dengan sebenarnya.
            Itulah yang menjadi keberatan para penulis Subaltern Studies, dan
sejumlah kalangan pengkritik Poskolonial. Dalam pandangan mereka, historiografi
semacam itu hanya merupakan kelanjutan dari historiografi nasionalis-elit
maupun dari kaum borjuis-kolonial. Suara subaltern diangkat, tapi tidak lagi
otonom, dengan segenap kesadaran mereka sendiri. Kalangan petani diceritakan,
tapi diarahkan hanya merupakan perpanjangan dari manipulasi kalangan elit agama
kharismatik. Siasat-siasat dan strategi politik mereka dikriminalisasi sebagai
“pemberontakan”. Politik mereka dianggap bukan “politik sebenarnya”, alias
pra-politik (pre-political) atau primitif (Sartono misalnya mengikuti analisis
Hobsbawm tentang “primitive rebellion”). Akibatnya, dengan mengikuti paradgma
ilmu-iomu sosial modernis, segenap kesadaran, pandangan dunia dan paham
keagamaan para petani hanya dinilai sebagai cerminan dari mentalitas masyarakat
tradisional yang
 terbelakang (backward).
            Dengan kata lain, perkenalan pendekatan dan  konsep-konsep
ilmu-ilmu sosial itu tidak terlepas dari cara atau proses bagaimana ilmu-ilmu
sosial Amerika itu diperkenalkan ke Asia tenggara. Artinya, yang diperkenalkan
oleh para sejarawan Indonesia di atas jelas bukanlah ilmu-ilmu sosial kritis,
tapi justru ilmu-ilmu sosial yang fungsional. Yakni, yang mengemban misi
“memperadabkan bangsa-bangsa Timur”, dan juga untuk melapangkan jalan kapital
masuk ke negara mereka. Dalam konteks bangsa kita, masuknya Freeport dan
perusahaan-perushaan multinasional di akhir 1960-an, bersamaan dengan masuknya
ilmu-ilmu sosial “baru” yang berorientasi pada “pembangunan mentalitas” dan
penekana pada pentingnya “etos kerja, enterpreneurship dan prestasi”.
Lebih jauh, seperti kita lihat dalam analisis Noam Chomsky, masuknya ilmu-ilmu
sosial semacam itu juga ditandai dari munculnya Perang Vietnam era 1960-an,
dimana para petani dan masyarakat pedesaan menjadi aktor perlawanan terhadap
invasi Amerika. Waktu itu, di kalangan akedemik Amerika muncul kesadaran akan
pentingnya menjinakkan para petani, kalau perlu melumpuhkan basis politik
mereka, dengan membuatnya menjadi “citizen” atau “kelas pekerja”. Maka
muncullah jurnal Asian Survey di tahun 1967 yang mengambil tema “Social Science
and Vietnam”. Pengalaman AS dengan Vietnam sudah begitu kaya, sehingga bisa
dikatakan Vietnam sebagai “laboratorium” atau “situs tes” ilmu-ilmu sosial
modernis. Dan, sejak itu, ilmu-ilmu sosial Amerika masuk ke Asia Tenggara,
dengan misi khusus menghabisi kalangan petani, serta untuk menggelar proyek
urbanisasi dengan pengembangan kota-kota dan pembangunan mentalitas individual
yang berorientasi kerja dan
 prestasi.[16]
Lalu, petani? Ya, akan dianggap bukan pekerjaan yang punya masa depan. Dan
pertanian akan menjadi korban pertama dari proyek modernisasi padat kapital
yang digelar oleh negara. Dan anak-anak mudanya pun akan terbawa kepada sebuah
cita-cita baru untuk menjadi kelas menengah urban yang nantinya ilmu-ilmu
politik Amerika akan melabeli mereka sebagai “motor penggerak demokrasi” di
Dunia Ketiga.
      Sejak rezim Orde Baru Suharto berkuasa, proyek modernisasi menjadi kata
kunci. Masyarakat harus berubah, seiring dengan perlunya masyarakat
meninggalkan ikatan tradisional menuju kepada satu bentuk masyarakat baru.
Masyarakat baru itu dicita-citakan sebagai masyarakat modern, masyarakat
industrial. Masyarakat agraris ditampik karena katanya tidak pas untuk kemajuan
bangsa yang ingin “tinggal landas”.
Berbagai jenis kepercayaan masyarakat yang terkait dengan kultur agraris ini
pun kemudian harus dirombak. Termasuk berbagai kepercayaan kalangan masyarakat
desa, para petani dan orang-orang kampung. Apalagi trauma masa lalu muncul di
situ, dengan PKI sebagai simbol besarnya. Dan dari sinilah pentingnya Clifford
Geertz, Robert Jay, hingga William Liddle dan Robert Hefner untuk melapangkan
jalan kapital masuk ke Indonesia.[17]
Tentang pengaruh Geertz dan ilmu-ilmu sosial ini dalam penulisan sejarah
Indonesia, lihat misalnya studi Arbi Sanit tentang sejarah petani dan
hubungannya dengan PKI. Arbi Sanit banyak mengutip pandangan Geertz, terutama
yang berkaitan dengan dikotomi santri-abangan. Mengapa PKI? “Karena PKI
mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak
rasional sebagai saluran pengaruh,” demikian kesimpulan penelitian dan juga
skripsi Arbi Sanit di tahun 1970-an atas anjuran Herbert Feith, “maka akibatnya
secara disadari atau tidak PKI memelihara unsur tradisionalisme dalam
masyarakat desa. Lihatlah bagaimana caranya PKI menyalurkan pengaruh melalui
dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”.[18]
Lalu, bagaimana kemudian menghadapinya? Ada dua strategi, penciptaan ketegangan
dan sekolahisasi, seperti ditunjukkan dalam rekomendasi penelitian Arbi Sanit
itu:

Berkenaan dengan perubahan masyarakat desa, perpecahan agama dapat pula menjadi
saluran; sejauh kecenderungan yang mengarah kepada terganggunya kestabilan
masyarakat secara keseluruhan dapat dikuasai. Untuk itu hendaknya diciptakan
suatu persaingan yang sehat dan dapat diambil manfaatnya di antara variasi
keagamaan masyarakat desa [yakni antara santri dan abangan – AB].
Sebenarnya investasi di bidang pendidikan adalah jalan yang lebih rasional,
sekiranya stabilitas masyarakat desa yang dikehendaki adalah stabilitas yang
dapat menampung perubahan. Sebab melalui pendidikan, cara berpikir dapat
dirubah dan diperluas, hingga menjadi rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Juga pendidikan merupakan cara terbaik untuk melatih petani memutuskan segala
sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Apabila ini tercapai barulah
demokrasi dengan sistem pilihan dan kemungkinan di desa-desa ditegakkan.[19]

            Tentu PKI sudah habis, jadi tidak diperlukan adanya strategi untuk
menyekolahkan sebanyak-banyaknya orang-orang PKI atau menciptakan ketegangan
sebanyak-banyak dalam tubuh PKI.
Tapi sekarang sasarannya kini adalah pada orang-orang atau kelompok yang
“mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak
rasional sebagai saluran pengaruh,” orang-orang yang “memelihara unsur
tradisionalisme dalam masyarakat desa”, dan “yang menyalurkan pengaruh melalui
dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”.

Historiografi Indonesia dan Pendekatan Poskolonial
Lalu bagaimana suara dan kesadaran subaltern yang otonom itu? Bagaimana
politiknya? Dalam pendekatan Subaltern Studies dan Studi Poskolonial ini,
suara-suara marjinal diangkat kembali untuk merepresentasikan sesuatu yang
sifatnya kontestasi. Ia hadir untuk menggugat otoritas politik dan keilmuan
wacana imperial tentang identitas, budaya dan masyarakat. Historiografi
kolonial dan historiografi nasional pun digugat dalam konteks ini.
Ini seperti dirangkum oleh Homi Bhabha:

“Postcolonial criticism bears witness to the unequal and uneven forces of
cultural representation involved in the contest for political and social
authority within the modern world order. Postcolonial perspectives emerge from
the colonial testimony of Third World countries and the discourses of
‘minorities’ within the geopolitical divisions of East and West, North and
South. They intervene in those ideological discourses of modernity that attempt
to give a hegemonic ‘normality’ to the uneven development and the differential,
often diadvantaged, histories of nations, races, communities, peoples. They
formulate their critical revisions around issues of cultural difference, social
authority, and political discrimination in order to reveal the antagonistic and
ambivalent moments within the ‘rationalizations’ of modernity. To bend Jurgen
Habermas to our purposes, we could also argue that the postcolonial project, at
the most general theoritical
 level, seeks to explore those social pathologies – ‘loss of meaning,
conditions of anomie’ – that no longer simply ‘cluster around class antagonism,
[but] break up into widely scattered historical contigencies’ ...
The postcolonial perspective ... departs from the traditions of the sociology
of underdevelopment or ‘dependency theroy’. As a mode of analysis, it attempts
to revise those nationalist or ‘nativist’ pedagogies that set up the relation
of Third World and First World in a binary structure of oppositional. The
postcolonial perspective resists the attempts at holistic forms of social
explanation. It forces a recognition of the most complex cultural and political
boundaries that exist on the cusp of these often opposed political spheres.”[20]

Itulah sebabnya cara-cara kerja Studi Poskolonial mirip yang dilakukan dalam
studi dan analisis wacana atau kajian kesastraan. Istilahnya cara
ber-“naratologi”-nya menjadi alternatif dalam penulisan sejarah atau
historiografi. Yang mereka pentingkan dalam penulisan sejarah adalah plot,
karakter, otoritas, bahasa, suara dan masa. Itu sbebanya mereka sering
menggunakan cara-cara kerja naratologi strukturalis, semiologi Barthesian, dan
analisis wacana Foucaldian. “The narrative in the document violates the actual
sequence of what happened in order to conform to the logic of legal
intervention which made death into a murder, a caring sister to a murderess,
all the actants in this tragedy into defendants, and what they said in a state
of grief into ekrars [depositions]”, tulis Ranajit Guha.[21]
Naratologi Poskolonial seperti ini pernah diperkenalkan oleh Budi Santoso dari
Realino dalam penulisan sejarah. Demikian pula, terlepas dari beberapa
kekurangannya, esai-esai Melani Budianta dan Manneke Budiman tentang nasib
orang-orang kecil dalam Republik. Buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005),
merupakan rintisan baru dalam  historiografi Indonesia. Meski perlu dilanjutkan
lagi dengan studi-studi yang lebih mendalam, buku ini mengangkat suara-suara
terpendam dalam historiografi Indonesia yang selama ini didominasi oleh sejarah
elit, sejarah militer atau sejarah kelompok-kelompok dominan dan terpelajar.
Soalnya, yang bisa bersuara dan memberi warna atas segenap derap langkah
sejarah hanyalah orang-orang yang punya akses dengan alat-alat produksi
pen-suara-an itu. Posisi dan status sosial, kekuatan finansial, kemampuan
tulis-menulis dan akses ke media, serta punya organisasi yang diizinkan untuk
hidup. Mereka inilah yang punya identitas jelas dan
 namanya ditulis dalam sejarah. Di luar itu, yang ada hanyalah sebutan-sebutan
seperti “massa”, “petani”, “pemberontak”, “perusuh”, atau “kelompok sesat dan
bid’ah”.
Pendekatan Studi Poskolonial ini mengambil contoh seorang Jawa dari abad 19
yang berkeliling ke Eropa dan meneliti kebudayaan masyarakat sana dengan
asumsi-asumsi ke-Jawa-annya. Artinya, orang Jawa ini muncul sebagai kebalikan
dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya
untuk meneliti masyarakat Timur yang dianggap primitif dan tidak beradab. Tapi
legitimasi pengetahuan pribumi itu langsung dirontokkan oleh C. Snouck
Hurgronje: “ia adalah orang awam di bidang sejarah, kurang pengetahuan atau
kurang kemauan”.
            Dalam perspektif seperti ini, sejarah berarti kritik. Sejarah
bukanlah repliaksi atu pengualangan membabi-buta atas obyek-obyek,
ideologi-ideologi maupun argumen-argumen kolonialis. Dengan sejarah sebagai
kritik ini, studi Poskolonial berupaya menyelamatkan suara-suara pribumi yang
tertekan, dari sejarah kolonial, dan untuk merambah wawasan-wawasan baru dalam
historiografi yang baru, bukan hanya untuk ke masa lalu, tapi juga kepada
perkara kelemahan mendasar masyarakat pribumi yang membuatnya begitu lama
rentan dengan skema-skema luar ilmu-ilmu sosial, seperti yang dialami Kiai
Mahfud Somalangu dan para petani Banten di atas.
           
“Coba Anda bayangkan, seorang Jawa yang pandai, yang ingin tahu dan hendak
mempelajari pengaruh agama Kristen terhadap peradaban Eropa dan pergi
menjelajahi Eropa dengan membawa Kitab Perjanjian baru dan beberapa buku
tentang agama. Di sini ia menjumpai orang-orang Kristen membungkuk-bungkuk di
hadapan patung-patung kayu dan batu yang menganggap Kitab Suci sebagai buku
terlarang; di sana ia melihat orang-orang lain, yang mengakui firman Tuhan
adalah petunjuk tunggal bagi agama, tetapi kebanyakan di antara mereka kurang
berpengetahuan tentang isi Wahyu dibandingkan orang Jawa tadi. ... Kebodohan
terdapat dimana-mana; kepercayaan dan perbuatan takhayul ada di banyak tempat
sesuai dengan keadaan negerinya. Kesimpulan akhir dari  penyelidik Jawa tadi
ialah: agama Kristen menyelubungi masyarakat Eropa bagaikan selimut resi,
selimut yang, oh! penuh dengan lubang, yang memperlihatkan pemujaan berhala
kuno dengan gamblang. Kesimpulan demikian dapat dipahami,
 karena orang Jawa itu, betapapun ia berusaha ingin tahu, adalah orang baru
atau orang awam di bidang sejarah. [Dalam catatan kaki] ... yang silau oleh
kekurangan pengetahuan atau oleh kurangnya kemauan.”[22]

            Kutipan di atas berasal dari C. Snouck Hurgronje, ahli kajian Islam
asal Belanda. Ditulis pada 1883, enam tahun sebelum diutus ke Batavia sebagai
penasehat urusan keagamaan dalam birokrasi kolonial Hindia Belanda. Tulisan
Snouck ini menggambarkan situasi ketimpangan dalam relasi antara penjajah dan
yang dijajah. Barat berhak menduduki dan mengkolonisasi Timur atas nama misi
pemberadaban penduduk (civilizing mission). Barat dianggap sebagai produsen
pengetahuan. Sedangkan Timur sebagai obyek atau konsumen pengetahuan. Dan
instrumen efektif untuk kolonisasi itu adalah disiplin ilmu etnologi.
            Etnologi ini merupakan rangkuman dari sekian tesis ilmu pengetahuan
tentang budaya dan masyarakat orang-orang yang dianggap Timur. Asumsinya, orang
Timur belum mencapai tahap kedewasaan, dan belum mengenal tahap perkembangan
sejarah seperti dimiliki Barat. Etnologi memungkinkan Timur dihadirkan sebagai
sesuatu yang eksotik, yang dieprtahnakna dalam kondisi masa lalunya.
            Snouck punya kerisauan sendiri, bagaimana seandainya orang-orang
Timur punya pengetahuan etnologi dan menerapkannya ke dalam masyarakat Eropa?
Artinya, sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur,
dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Barat yang dianggap primitif
dan tidak beradab? Tentu kesimpulan pengetahuan pribumi ini bisa merontokkan
supremasi peradaban Barat. Perhatikan kesimpulannya seperti dibaca Snouck:
bahwa orang-orang Eropa membungkuk-bungkuk di hadapan patung-patung kayu dan
batu, bahwa kebodohan dan takhayul ada dimana-mana, pemujaan berhala kuno
tersebar dimana-mana. Snouck Hurgronje dengan kuasa pengetahuan resmi yang
dimilikinya segera menangkal kesimpulan itu bahwa pengetahuan etnografi orang
Timur itu adalah hasil pengetahuan “orang baru atau orang awam di bidang
sejarah, kurang pengetahuan atau kurang kemauan”.
Mengapa Snouck menyangkal dengan cara seperti itu, dan tidak menganggapnya
sebagai “pengetahuan tandingan” atau “wacana alternatif” terhadap hegemoni
pengetahuan Barat? Soalnya, bagi Snouck, konklusi dari pengetahuan pribumi itu
sangat berbahaya bagi misi pemberadaban Barat yang membenarkan kolonialisme
atas dunia Timur. Segenap pembenaran dan legitimasi kehadiran Barat
mengkolonisasi Timur itu dengan sendirinya akan rontok. Sehingga dilihat
mengancam dan berbahaya, serta mengganggu stabilitas hirarkis rasial dan
pengetahuan antara penjajah dan yang dijajah, antara Barat dan Timur. Maka,
wajar, penilaian Snouck atas pengetahuan pribumi itu mencerminkan satu
stereotype Orientalis tentang Timur yang tidak dewasa dan kekanak-kanakan.
Sehingga mereka dianggap tidak mampu mencapai derajat obyektifitas. Wajar
kemudian kalau Fanon, menyatakan bahwa obyektifitas selalu diarahkan untuk
menghadang penduduk pribumi (for the native, objectivity is always
 directed against him).[23]
Sampai di sini, saya akan bertanya kemudian, seperti halnya cara Gayatri Spivak
bertanya, “Apakah komunitas subaltern bisa berbicara dalam sejarah panjang
kolonialisme Belanda di Hindia? Tumpukan data, dokumen, arsip dan literatur
tentang kolonialisme Belanda sungguh luar biasa, setinggi Pegunungan Himalaya,
bahkan bisa jadi dua kali lipat. Mulai dari data dan laporan resmi pemerintah,
tulisan dan laporan pejabat dan para sarjana, liputan media cetak hingga
catatan-catatan pribadi pejabat kolonial maupun pribumi. Yang tidak tampak
hanyalah suara-suara dari komunitas yang selama ini menjadi obyek atau target
hukum, kontrol sosial maupun pengawasan politik dan keagamaan. Seperti
suara-suara komunitas petani dan para haji yang ikut dan terlibat dalam
Peristiwa Banten 1888.
Peristiwa ini punya dampak luas bagi manajemen politik dan kekuasaan kolonial
di Jawa sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 yang hingga kini masih terasa
efeknya. Sejumlah penelitian dan penyelidikan untuk mengenal lebih jauh
sebab-sebab dan latar belakang peristiwa tersebut, sudah dilakukan oleh pejabat
kolonial kala itu, maupun oleh para peneliti dan sarjana yang muncul
belakangan. Semuanya ingin mengungkap dengan jelas dan tepat sasaran
motif-motif di balik kasus itu. Namun, yang mereka peroleh hanyalah laporan
kesaksian para pelaku dan saksi dalam pengadilan. Studi ekstensif yang
dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo hanya bisa mengungkap data kesaksian itu
dari versi resmi yang dikeluarkan pemerintah kolonial  di Batavia. Selebihnya,
gelap gulita. Memang ada yang berupaya melacak dan menangkap motif tersebut
pada faktor tunggal, yakni  agama. Ini biasanya versi pemerintah. Yang lain
merujuk kepada faktor ekonomi. Dan juga ada yang mengambil kedua-duanya
 (mungkin dianggap aman dan lebih obyektif). Dalam kondisi serba gelap dan
tidak pasti itu, kita lihat sejumlah pendekatan dan penyelesaian atas kasus itu
sudah diajukan, misalnya untuk menghindari supaya tidak terjadi kasus serupa.
Namun, relasi antara sebab dan efek yang ditimbulkan sudah tidak bertemu; dan
memang kayaknya dalam logika kolonial dibayangkan tidak perlu ketemu. Memoar
atau tulisan kenang-kenangan yang ditulis mantan bupati Serang di Banten,
Pangeran Aria Djajadiningrat, menunjukkan hal itu.[24] Sebutan “pemberontak”
dan “perusuh” kerap menghiasi pandangannya tentang para pelaku dalam Peristiwa
Banten. Hal serupa bisa ditunjukkan di masa sekarang. Kasus Haur Koneng dibaca
sebagai tndaka pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok aliran sesat;
demikian pula, pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah di Aceh dibaca dan
dibenarkan di antaranya karena yang bersangkutan dinilai mengajarkan paham
sesat dan mengedarkan ganja.[25] (Seakan
 ganja dan aliran sesat adalah identik!!).
            Kasus orang Jawa yang melakukan studi etnografi di Eropah di masa
kolonial ini menunjukkan pentingnya Studi Poskolonial dilakukan dari sisi
subyektivitas subaltern. Ini supaya tidak terjebak ke dalam asumsi-asumsi
ilmu-ilmu sosial modernis. Studi saya dalam Islam Pasca-Kolonial, berusaha
untuk menunjukkan bagaimana suara-suara subaltern itu berlangsung tidak melalui
jalur “resmi” pengetahuan kolonial-modernis. Seperti dalam kasus petani Banten.
            Ada komunikasi yang berlangsung secara gelap dan rahasia di antara
penduduk pribumi. Dan jimat merupakan salah satu instrumennya. Tetapi yang
mengefektifkan komunikasi semacam ini adalah rumor. Berkat rumor, mobilisasi
dimungkinkan. Seperti halnya jimat dan tulisan-tulisan simbolik, rumor tidak
memiliki penutur tetap, dan tidak pula mewakili kesadaran orang atau kolekif
tertentu yang dianggap otentik. Ia bisa berpindah dari satu mulut ke mulut
lainnya tanpa kejelasan perumus awal atau pemicu aslinya. Rumor memperoleh
otoritasnya  bukan karena ada yang mengatakannya pertama kali sehingga
dipercaya, tetapi justru karena rumor itu didengar, atau diperdengarkan. Rumor
menarik sejumlah “kader”-nya karena ia menjadi milik semua orang yang
mendengar, membaca dan mengedarkannya, tanpa kejelasan sumber yang dianggap
dipercaya. Seperti jimat, gosip bernilai dan bermakna dari partisipasinya dalam
struktur penulisan yang illegitimate, seperti halnya
 etnografi bermakna karena didukung oleh hukum penulisan yang sah. Etnografi
masuk ke dalam dokumen resmi negara, dan menjadi sumber penulisan sejarah, maka
rumor – karena ia illegitimate -- masuk ke dalam sejarah petani -- disebut
“sejarah lisan” – ke dalam sejarah kriminal, pemberontakan, insurgency.
            Maka, bisa dipastikan apa gerangan yang akan terjadi, ketika
masyarakat Banten mendengar rumor “Syekh Nawawi dibunuh oleh pihak Belanda”
misalnya? Sekali lagi, seperti dalam soal jimat dan tulisan-tulisan simbolik
lainnya, Snouck berupaya menempatkan rumor sebagaimana halnya orang berbicara,
secara individual, sehingga bisa didakwa dan diadili. Dengan kata lain, ia
memaksakan syarat-syarat pembicaraan atau perbincangan -- dalam pengertian
sempit -- terhadap sesuatu yang mendasarkan kekuatannya dari partisipasi ke
dalam tulisan -- dalam pengertian luas. Tetapi, yang terjadi kemudian, seperti
halnya mengalami gagal tafsir atas jimat, primbon atau mujarobat, Snouck juga
mengalami hal serupa: “saya sendiri tidak berhasil untuk sekadar memancing
pengetahuan tentang desas-desus itu”. Dalam kutipan surat nasehatnya di atas,
Snouck kerap menyebut “salah paham”, “kekeliruan”, dan “takut” terhadap
penduduk. Ini ibarat makin besar
 harapan untuk mendisiplinkan dan normalisasi, makin besar pula tingkat “salah
paham”, “kekeliruan”, dan bahkan “ketakutan” itu.
            Inilah yang dihadapi Sartono Kartodirdjo. Ia hanya mengandalkan
sumber-sumber Belanda untuk mengungkap kasus itu, hanya satu kesaksian pelaku
yang bisa diperoleh secara lebih detil. Tampaknya hal itu sudah melalui proses
interogasi, pemeriksaan ketat, hingga proses editing sebelum menjadi laporan
resmi Direktur Departemen Dalam Negeri tanggal 18 September 1888.[26]

Akhmad dari Beji [Cilegon]: Ketika pada tanggal 10 bulan Syawal – 19 Juni 1888
– saya melihat orang-orang dari Medang Batu dan desa-desa lainnya datang
berkunjung ke Haji Wasid, saya mendengar bahwa haji itu bermaksud untuk memulai
perang sabil; lalu saya menanyakan kebenaran desas-desus itu, dan Haji Wasid
sendiri membenarkannya dengan mengatakan bahwa sejumlah besar orang telah
memutuskan untuk melancarkan pemberontakan dengan alasan-alasan sebagai
berikut; (1) ada dua pejabat di Cilegon, yakni Patih dan Jaksa yang sejalan
dengan orang-orang Belanda dan tidak mau membiarkan orang-orang Msulim untuk
pergi ke mesjid untuk sembahyang, dan yang oleh karenanya bersekongkol untuk
menghapuskan agama rakyat; (2) Patih telah sangat menaikkan pajak perahu,
sehingga orang harus membayar pajak usaha sebesar empatpuluh gulden untuk
setiap perahu; lalu orang-orang mengajukan permohonan kepada bupati serang,
akan tetapi ia menyuruh orang-orang itu menyampaikan
 permohonan mereka kepada Patih, sehingga hasilnya pajak itu tidak diturunkan;
(3) sebab-sebab utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti; akan tetapi saya
mendengar bahwa sebab-sebab itu mencakup beban pajak yang berat, terutama pajak
usaha; (4) penjaga-penjaga gardu yang tidak melakukan tugas mereka dengan baik,
dihukum berat; (5) pejabat-pejabat pribumi menggunakan terlalu banyak
mata-mata,yang selalu mencar-cari pelanggaran undang-undang yang paling kecil
sekalipun; (6) rakyat biasa sakit hati oleh karena mereka mendapat perlakuan
buruk; terutama Patih dan Jaksa sangat dibenci. Selain dari itu, setelah
pemberontakan pecah, ketika pemimpin-pemimpin pemberontak masih berkeliaran di
daerah Gunung Gede, Haji Wasid mengusulkan kepada pasukan pemberontak agar
salah seorang dari mereka mengirimkan petisi kepada pihak berwajib di Cilegon,
dengan menyebutkan sebab-sebab kerusuhan, dengan memberikan tekanan khusus
kepada perasaan benci terhadap Patih dan
 Jaksa serta hasrat untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap kedua orang
itu, yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam...”

Ini adalah satu bentuk kesaksian petani Banten yang bisa dikatakan sepenuhnya
invensi atau konstruksi. Ini adalah bahasa kesaksian yang membuat apa yang
(tidak)terpikirkan dalam kesadaran petani bisa diketahui, membuat ranah makna
terketahui (knowable) dalam lingkup makna pemerintah kolonial – termasuk dalam
horison pemaknaan para sejarawan seperti Sartono. Meski dikatakan “sebab-sebab
utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti”, tetapi toh ia tetap dianggap
sebagai saksi yang kesaksiannya dicatat dalam dokumen negara karena kalimat
berikut menyatakan “Akan tetapi saya mendengar ...”.
            Sebuah kesadaran subaltern jadinya dirasionalisasi dari dasar
fondasi yang tidak stabil, gampang goyah. Ini bukan hanya menunjukkan kekuatan
rumor seperti dikemukakan di atas, tetapi juga soal bagaimana bahasa lisan itu
didisiplinkan menjadi bahasa (yang) akan ditulis. Alias menjadi bahasa
birokrasi. Peletup atau insinuasi dibahasakan menjadi bahasa “propaganda”;
petani yang unjuk rasa dan menuntut hak-haknya disebut “perusuh”. Kita lihat,
pernyataan saksi ini tersusun rapi; alasan-alasan dan motifnya dikemukakan
secara detil dan jelas. Sebagaimana yang berlaku dalam disiplin tulisan. Dan
tulisan bukan cuma mendisiplinkan apa yang (tidak)diungkap secara lisan, tetapi
juga mengarahkan – sesuai dengan kehendak yang punya kuasa dalam hukum-hukum
tulis-menulis itu, seperti halnya tulisan etnolog. Kesaksiannya menunjuk kepada
dua orang, yang dikatakan sebagai terget pemicu kebencian para pelaku
pemberontakan. Selain itu, agency (pelaku
 utama [petani], target pokok [negara]) pemberontakan dialamatkan kepada
seorang pemimpin. Motif pun diungkap secara eksplisit: “perang sabil”,
digerakkan oleh seorang haji, dan ditujukan kepada pihak-pihak yang
“menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam”. Sementara faktor-faktor
lainnya tampak sebagai pelengkap.
Namun demikian, dari sekian faktor yang disebut itu, soalnya jadi agak ambigu.
Masalahnya, apakah faktor ekonomi dulu, lalu faktor agama atau sebaliknya?
Dengan kata lain, hubungan kausalitas pun diarahkan ke medium yang lain, dan
dibuat terbalik: bukan karena adanya sebab yang membuat akibat, tetapi
akibat-lah yang menggerakkan dan memunculkan satu sebab atau motif tertentu
dari sekian “sebab-sebab utama ... [yang] belum ... pasti”. Coba simak, faktor
keterbelakangan mental petani Banten, desain manipulatif para pemimpinnya, dan
penggunaan agama sebagai obyek manipulasi untuk merebut kekuasaan, adalah
atmosfer epistemologis yang menghidupkan dan menyelimuti konstruk kesaksian dan
sebab itu.[27] Snouck – selaku etnolog-polisional –dalam berbagai kesempatan
selalu menyebut faktor-faktor ini yang membuat mereka gampang dan mudah
diperalat oleh “orang-orang gila hormat”, “kaum petualang”, “orang-orang
serakah”, dan “gila kekuasaan”. 
Kata “fanatik” akhirnya menjadi pembenaran bagi penunggalan (atau mistifikasi?)
sebab-sebab dan motif rasa tidak puas, protes dan pemberontakan kalangan
pribumi. Dan penunggalan itu mengarah pada satu kata kunci agama, yakni
“fanatik” sebagai catchword. Jadi bukan kelas, ekonomi, atau politik. Agama
menjadi cara efektif membaca motif dan kesadaran penduduk pribumi. Dan kata
“fanatik”, akhirnya, menjadi icon, semacam “kesadaran transendental”, sebuah
“voice-consciousness”. Dengan simpul-simpulnya ini, segenap ide, pikiran dan
tindakan penduduk pribumi terbaca secara transfaran, dan bisa pula
diperdengarkan.
Dengan kata lain, problematik menafsirkan bahasa simbolik dan komunikasi
rahasia seperti ditunjukkan dalam jimat dan buku-buku primbon dan mujarobat
ini, diselesaikan pada tataran epistemologis, dalam konstruk bahasa “fanatik”.
Problem pelik mengungkap kesadaran subaltern dalam memberontak, “diakalin”
dalam satu kata pamungkas, fanatik. Dalam spektrum pemaknaan monopolistik ala
kolonial ini, sejarawan hanya mampu mengungkap kesadaran itu melalui optik
seperti ini. Meski sejumlah faktor lain disebut, tetapi semuanya hanya bermakna
ketika faktor pamungkas ini disebut, ditata dan dirapikan dalam hirarki bahasa
kolonial. Berbeda dengan pendekatan negara-negara liberal di Eropa yang melihat
penduduknya dalam kategori-kategori kelas atau sosial-ekonomi, dengan icon
“fanatik” ini, Belanda tampak sedang menutupi kegagalannya dalam berkomunikasi
dengan pribumi. Kompensasi itu dimungkinkan dengan sejumlah argumen rasional
dari para etnolog yang
 berkeliaran di tanah Hindia Belanda saat itu. Kesimpulan mereka tentang “ciri
khas ketimuran orang-orang Hindia” memang mendukung tesis tentang kefanatikan
ini. Bahwa penduduk pedesaan, dimana gerakan-gerakan tarekat tumbuh subur,
sangat kuat terikat dengan kultur keagamaannya, dan juga dengan adatnya yang
penuh mistik, takhayul dan khurafat.

Penutup dan Kesimpulan
Dengan demikian, sebagai eksimpulan, bisa dikatakan, historiografi Indonesia,
baik yang lama maupun yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, lebih
didominasi oleh elitisme, elitisme kolonial dan elitisme borjuis-nasionalis.
dalam pandangan mereka, pembentukan kesadaran nasional secara eksklusif adalah
pencapaian dan prestasi kelompok-kelompok elit. Dan itu melalui proses
interaksi dan pembelajaran melalui interaksi dengan kolonialisme,
lembaga-lembaga dan kebudayaannya. Singkatnya, nasionalisme Indonesia adalah
ekspresi kebaikan dari elit pribumi.
            Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian historiografi semacam
ini gagal mengungkap kontribusi yang dimainkan oleh rakyat menurut cara mereka
sendiri, yakni yang independen dari  kelompok elit dalam pembentukan dan
pengembangan paham kebangsaan ini. Politik Indonesia dalam pandangan Subaltern
Studies ini adalah politik rakyat, yakni politik mobilisasi horisontal yang
dimainkan di luar dari lembaga0lembaga kenegaraan yang dieprkenalkan oleh
kolonialisme buat pemerintahan pribumi, dengan sekian perangkat hukum dan
kebijakan dan spura-strukturnya. Politik mobilisasi horisontal ini bukanlah
agregasi aktivitas and ide-ide dari orang-orang terlibat langsung dalam
pengoperasian lembaga-lembaga kenegaraan itu. Mobilisasi dalam domain politik
subaltern diperoleh melalui proses yang sifatnya merata di kalangan masyarakat,
bersifat horisontal, di atas basis organisasi tradisi kekerabatan, keagamaan,
maupun etnik dan kesukuan.
            Pendekatan Poskolonial hadir untuk memberi suara bagi
politik-politik subaltern itu. Bukan membuatnya bersuara karena desakan aau
tekanan luar, tapi bersuara untuk dirinya sendiri, dan untuk kepentingan mereka
sendiri pula.***
  




[1] Ahmad Baso,  Pengurus LTN-PBNU, dan Penulis Buku Civil Society versus
Masyarakat Madani (1999), Plesetan Lokalitas (2002), Islam Pasca Kolonial
(2005) dan NU Studies (2006). Kini Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) periode 2007-2012.
[2] Gayatri Chakravorty Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing
Historiography”, dalam Ranajit Guha dan Gayatri Chakravorty Spivak (eds.),
Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988),
hal. 3-32. Guha, Ranajit, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan
Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University
Press, 1988).
[3] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 3.
[4] Ibid., hal. 2.
[5] Ibid., hal. 1. 
[6] E.E. Evans-Pritchard, Anthropology and History (Manchester, 1961).
[7] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (terj. Hasan Basari)
(Jakarta: Pustaka, 1984), hal. 25-26.
[8] Ibid., hal. 15.
[9] Lihat Sartono Kartodirdjo, “Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and
Development”, dalam Claire Holt (editor), Culture and Politics in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 71-125.
[10] Lihat Abdurrahman Wahid, “Keadilan dan Rekonsiliasi”, dalam Islamku, Islam
Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 153-154.
[11] Kuntowijoyo, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam
Lokal 1945-1950”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1996), hal. 103-122.
[12] Ibid., hal. 122.
[13] Lihat misalnya Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World:
West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt
(editor), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
1972), hal. 179-245.
[14] Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), cet. 2,
hal. 52.
[15] Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge,
1994). Di sini Bhabha mengikuti diktum lacan yang sangat terkenal: “man’s
desire is the desire of the Other”.
[16] Noam Chomsky, American Power and the New Mandarins (New York: New Press,
2002).
[17] Tentang nasib petani ini dalam ilmu-ilmu sosial Amerika, lihat misalnya
Victor T. King dan William D. Wilder, The Modern Anthropology of Southeast
Asia: An Introduction (London & New York: Routledge, 2003). Untuk konteks
India, lihat misalnya buku salah seorang pentolan Subaltern Studies, Dipesh
Chakrabarty, Habitations of Modernity: Essays in the Wake of Subaltern Studies
(Chicago & London: The University of Chicago Press, 2002).
[18] Arbi Sanit, Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan
Jawa Timur (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 234.
[19] Ibid., hal. 235.
[20] Homi K. Bhabha, The Location of Culture, hal. 245-246, dan 248.
[21] Ranajit Guha, “Chandra’s Death”, sebagaimana dikutip dalam Priyamvada
Gopal, “Reading Subaltern History”, dalam Neil Lazarus (editor), The Cambridge
Companion to Postcolonial Literary Studies (Cambridge: Cambridge University
Press, 2004), hal. 140.
[22] C. Snouck Hurgronje, “Arti Agama Islam bagi Para Penganutnya di Hindia
Belanda (1883)”, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, vol. VII, hal. 20-21
[huruf miring dari AB].
[23] Frantz Fanon,  The Wretched of the Earth (New York: Grove Press, 1968),
hal. 77.
[24] Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Keturunan
P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996).
[25] Lihat Dyah Rahmany P., Matinya Bantaqiah: Menguak Tragedi Beutong Ateuh
(Jakarta: Cordova, ICCO, & LSPP, 2001).
[26] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, hal. 475.
[27] Saya menimba inspirasi dari Ranajit Guha yang membaca laporan-laporan
kolonial Inggris tentang motif pemberontakan petani di India era kolonial.
Lihat Ranajit Guha, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan Spivak
(eds.), Selected Subaltern Studies, hal. 45-86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar